UNDANG-UNDANG
(UU) 1946 No. 1 (1/1946)
HUKUM PIDANA.
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang :
bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan
Undang-undang hukum pidana baru, perlu
peraturan hukum pidana disesuaikan dengan
keadaan sekarang;
Mengingat :
Akan pasal 5, ayat 1 Undang-Undang Dasar, pasal
IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar serta
Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal
10 Oktober 1945 No. 2;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat :
Memutuskan :
Menetapkan peraturan sebagai berikut :
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA.
Pasal 1.
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan
Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober
1945 No. 2, menetapkan, bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada
tanggal 8 Maret 1942.
Pasal 2.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan
oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda
dulu (Verordeningen van het Militair Gezag)
dicabut.
Pasal 3.
Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana
ditulis dengan perkataan "Nederlandsch-Indie"
atau "NederlandschIndisch(e) (en)",
maka perkataan-perkataan itu harus dibaca "Indonesie" atau
"Indonesishc(e) (en)".
Pasal 4.
Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana
suatu hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan
diberikan atau suatu larangan ditujukan kepada
sesuatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya,
yang sekarang tidak ada lagi, maka hak,
kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap
diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada
pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang
harus dianggap menggantinya.
Pasal 5.
Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau
bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia
sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai
arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian
sementara tidak berlaku.
Pasal 6.
(1) Nama Undang-undang hukum pidana "Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie"
dirobah menjadi "Wetboek van
Strafrecht".
(2) Undang-undang tersebut dapat disebut : Kitab
Undang-undang hukum pidana".
Pasal 7.
Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan
dalam pasal 3, maka semua perkataan
"Nederlandsch-onderdaan" dalam Kitan
Undang-undang hukum pidana diganti dengan "Warga
Negara Indonesia".
Pasal 8.
Kitab Undang-undang hukum pidana dirobah sebagai
berikut :
1. Dalam pasal 4, ayat 1, ke 1e angka-angka
"104-108" harus dibaca "104, 106, 107 en 108" dan
angka-angka "130-133" dibaca
"131"
2. Perkataan "Directeur van Justitie"
dalam pasal 15b diganti dengan "Minister van Justitie".
3. Pasal 16 dirobah sebagai berikut :
a. perkataan "Directeur van Justitie"
harus dibaca "Minister van Justitie"
b. bagian kalimat : "voorzopver betreft de
Gouvern- ementslanden van Java en Madoera,
van den assitent- resident en elders van het
hoofd van plaatselijk bestuur" diganti dengan
"van den jaksa" dan perkataan
"Gouverneur-Generaal" diganti dengan "Minister van
Justitie".
c. bagian kalimat : "in de
Gouvernementslanden van Java en Madoera ob bevel van den
assitent-resident en elders van het hoofd van
plaatselijk bestuur" dalam ayat 3 diganti
dengan "op bevel van den Jaksa"
4. Dalam pasal 20 perkataan "het hoofd van
plaatselijk bestuur (den assistent-resident) diganti
dengan "den jaksa".
5. Dalam pasal 21, perkataan "Directeur van
Justitie" diganti dengan "Minister van Justitie".
6. Dalam Pasal 29, ayat (2)m perkataan
"Directeur van Justitie" diganti dengan Minister van
Justitie".
7. Dalam pasal 33a, perkataan
"Gouverneur-Generaal", diganti dengan "President".
8. Dalam pasal 44, ayat 3, perkataan "de
Europeesche rechtbanken", diganti dengan
"Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi".
9. Pasal 76 dirobah sebagai berikut :
a. bagian kalimat "of van den rechter in
Nederland of in Suriname of in Curacao",
dihapuskan.
b. perkataan "inheemsche" dan
"Inlandsche" dihapuskan.
10. Dalam pasal 92, bagian kalimat "den
Volksraad, van den provinciale raden en van de raden
ingesteld ingevolge artikel 121, tweede lid en
artikel 124, tweede lid der Indische
Staatsregeling" diganti dengan "een
door of namens de regering ingesteld wetgeven,
besturend of volksvertegenwooedigend
lichaam".
11. Pasal 94 dihapuskan.
12. Dalam pasal 104 perkataan-perkataan
"den Koning, de regeerende koningin of den Regent"
diganti dengan "den Presiden of den
Vice-President".
13. Pasal 105 dihapuskan.
14. Dalam pasal 110 ayat (1) dan ayat (2)
angka-angka "104-108" harus dibaca "104,106, 107 en
108".
15. Dalam pasal 111 perkataan "hetzij"
dan bagian kalimat "hetzij met een Indische vorst of
volk" dihapuskan.
16. Dalam pasal 112 dan 121 bagian kalimat
"een Indishce vorst of volk" dihapuskan.
17. Dalam pasal 117 no. 3 perkataan
"Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie harus
dibaca "President".
18. Dalam pasal 122 dan 123 perkataan
"Nederland" harus dibaca "Indonesie".
19. Dalam pasal 128 bagian kalimat : "een
der in de artikelen 104 en 105 omschreven
misdreijven" diganti dengan "het in
artikel 104 omshcreven misdrijf".
20. Kepala Bab II diganti sebagai berikut :
"Misdrijven tegen de waardigheid van den President
en van den Vice-President".
21. Pasal 130 dihapuskan.
22. Dalam pasal 131 perkataan "des konings
of der Koningin" diganti dengan "van den
President of van den Vice President"
23. Pasal 135 dan 136 dihapuskan.
24. Dalam pasal 134 perkataan-perkataan
"Koning of der Koningin" diganti dengan "President
of den Vice-President"
25. Pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan.
26. Dalam pasal 136 bis bagian kalimat :
"de artikelen 134, 135 en 136" harus dibaca "artikel
134".
27. Dalam pasal 137 bagian kalimat "de
Koning, de Koningin, den gemaal der regeerende
Koningin, den troonopvolger, een lid van het
Konniklijke Huis of den Regent" harus dibaca
"den President of den Vice-President".
28. Pasal 138 dihapuskan.
29. Pasal 239 dirobah sebagai berikut :
a. ayat (1) dihapuskan.
b. dalam ayat (2) bagian kalimat "een der
in artikelen 131-133 omschreven misdrijven" harus
dibaca "het in artikel 131 omschreven
misdrifjf".
c. dalam ayat (3) bagian kalimat "een der
artikelen 134-136 omschreven misdrijf" harus
dibaca "de artikel 134 omscht ven
misdrijf".
30. Perkataan "Nederlandsche" dalam
pasal 143 dan 144 harus dibaca "Indonesische".
31. Dalam pasal 146 dan 147 bagian-bagian
kalimat : "den Volksraad, van een provincialen raad
of van een raad ingesteld ingevolge artikel 121
tweede lid, dan wel ingevolge artikel 124
tweede lid der Indische Staatsregeling"
harus dibaca "een door or namens de Regeering
ingesteld wetgevend, besturend of
volksvertegenwoordigend lichaam".
32. Pasal 153 bis dan pasal 153 ter hapuskan.
33. Dalam pasal 154 dan 155 bagian kalimat
"Nederland of van Nederlandsch-Indie" harus
dibaca "Indonesie".
34. Pasal 161 bis dihapuskan.
35. Dalam pasal 164 angka-angka
"104-108" harus dibaca "104, 106, 107 en 108".
36. Dalam pasal 165 angka-angka
"104-108" dan 115-133" masing-masing harus dibaca "104,
106, 107 en 108" dan 115-129 en 131".
37. Pasal 171 dihapuskan.
38. Dalam pasal 207 dan 208 bagian kalimat :
"Nederlan of in Nederlandch-Indie" harus dibaca
"Indonesie".
39. Dalam pasal 210 ayat (1) ke-2 bagian kalimat
"dan wel'aan een inlandschen officier van
Justitie" dihapuskan.
40. Dalam pasal 228 bagian kalimat "vier
maanden en twee weken" diganti dengan "twee jaren".
41. Pasal 230, dihapuskan.
42. Dalam pasal 234 dibelakang
perkataan-perkataan "in een postbus gestoken" ditambah
dengan perkataan "dan wel aan een koerier
toevertrouwd".
43. Dalam pasal 238 perkataan
"Gouverneur-General" harus dibaca "President".
44. Pasal 239 dirobah sebagai berikut :
a. bagian kalimat "buiten de gevallen
waarin het krachtens algemeence verordening
veroorloofds is, zonder toestemming van den
Vouverneur-Generaal" dihapuskan.
b. perkataan "Inlander" diganti dengan
"Warga Negara Indonesia".
45. Dalam pasal 240 ayat (1) No. 1 bagian
kalimat "167 der Indische Staatsregeling" harus dibaca
"30 der Undangundang Dasar".
46. Dalam pasal-pasal 253 dan 260 perkataan-perkataan
"van rijkswege of" dihapuskan.
47. Dalam pasal 260 bis bagian-bagian kalimat
"hetzij van Suriname of Curacao" dan "hetzij
voorzoover merken betreft, van Nederland"
dihapuskan.
48. Dalam pasal 274 perkataan
"Inlandsch" dihapuskan.
49. Dalam pasal 420 ayat (1) No. 2 bagian
kalimat "dan wel de Inlandsch Officier van Justitie
die" dihapuskan.
50. Dalam pasal 447, 448 dan 449 perkataan
"Nederlansch of" dihapuskan.
51. Dalam pasal 450 dan 451 perkataan
"Nederlandsche Regeering" diganti dengan
"Indonesische Regeering".
52. Dalam pasal-pasal 453, 454, 455 dan 458 ayat
(1) perkataan "Nederlandsch of" dihapuskan.
53. Dalam pasal 458 ayat (2) perkataan
"Nederlandschen" diganti dengan "Indonesischen".
54. Dalam pasal 459 ayat (1), 461, 464 ayat (1),
466, 467, 468, 469 ayat (1), 470 dan 471
perkataan "Nederlandschen of"
dihapuskan.
55. Dalam pasal 173 dan 474 perkataa
perkataan-perkataan "Nederlandsch (e)" diganti dengan
"Indonesisch (e)".
56. Dalam pasal-pasal 475, 476 dan 477
perkataan-perkataan "Nederlandsch of" dihapuskan.
57. Pasal 587 dirobah sebagai berikut :
a. angka-angka dan perkataan-perkataan
"130, eerste lid" dan "105" dihapuskan.
b. angka-angka "131-133" harus dibaca
"131"
58. Dalam pasal 490 No. 4 bagian kalimat
"aan het hoofd van plaatselijk bestuur" den
assistent-resident diganti dengan "een het
Hoofd van de politie".
59. Dalam pasal 495, ayat (1) bagian kalimat
"het hoofd van plaatselijk bestuur" (den regent)
diganti dengan "het hoofd van de
politie".
60. Dalam pasal 496 bagian kalimat "het
hoofd van plaatselijk, bestuur" (den assitent-resident),
diganti dengan "het hoofd van de
politie".
61. Dalam pasal 500 bagian kalimat "het
hoofd plaatselijk bestuur" (de resident), diganti dengan
"het hoofd van de politie".
62. Dalam pasal 501 ayat (1) no. 2 bagian
kalimat : "het hoofd van plaatselijk bestuur (de
assistent-resident) diganti dengan "het
hoofd van de politie".
63. Pasal 507 dirobah sebagai berikut :
a. bagian "le" dibaca demikian :
hij, die zonder daartoe gerechtigd te zijn, een
Indonesischen adelijken titel voert, of een
Indonesischen ordeteeken draagt"
b. perkataan-perkataan "s'Konings
verlof" harus dibaca "verlof van den President".
64. Dalam pasal 508 bis bagian kalimat :
"van een zelfstandige gemeenschap als bedoeld in
artikel 121 eerste lid of artikel 123 tweede lid
der Indische Staatsregeling dan wel van een
waterschap" harus dibaca "van een bij
de wet ingetstelde of eerkende zelfstandige
gemeenschap".
65. Dalam pasal 510 bagian kalimat : "het
hoofd van plaatselijk bestuur" (den resident) harus
dibaca "het hoofd van de politie".
66. Dalam pasal 516 bagian kalimat : "het
hoofd van plaatselijk bestuur of aan den door dezen
aangewezen" harus dibaca "het hoofd
van de politie of aan den door dezen aangewezen".
67. Dalam pasal 524 bagian kalimat "het
hoofd van plaatselijk bestuur" (den assistent-resident)
harus dibaca "den daartoe aangewezen
ambtenaar".
68. Dalam pasal 544 ayat (1) bagian kalimat
"het hoofd van plaatselijk bestuur" (den regent)
harus dibaca "het hoofd van den
politie".
Pasal 9.
Barang siapa membikin benda semacam mata uang
atau uang kertas dengan maksud untuk
menjalankannya atau menyuruh menjalankannya
sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan
hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas
tahun.
Pasal 10.
Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai
alat pembayaran yang sah mata uang kertas,
sedang ia sewaktu menerimanya mengetahui atau
setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa
benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak
diakui sebagai alat pembayaran yang sah, atau, dengan
maksud untuk menjalankannya atau menyuruh
menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah,
menyediakannya atau memasukkannya ke dalam
Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara
setinggitingginya lima belas tahun.
Pasal 11.
Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai
alat pembayaran yang sah mata uang atau uang
kertas yang dari pihak Pemerintah tidak diakui
sebagai alat pembayaran yang sah, dalam hal di luar
keadaan sebagai yang tersebut dalam pasal yang
baru lalu, dihukum dengan hukuman penjara
setinggitingginya lima belas tahun.
Pasal 12.
Barang siapa menerima sebagai alat pembayaran
atau penukaran atau sebagai hadiah atau penyimpan
atau mengangkut mata uang atau uang kertas,
sedangkan ia mengetahui, bahwa benda-benda itu oleh
pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat
pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya lima tahun.
Pasal 13.
Kalau orang dihukum karena melakukan salah satu
kejahatan seperti tersebut dalam pasal-pasal 9,
10, 11 dan 12 maka mata uang atau uang kertas
serta benda lain yang dipergunakan untuk melakukan
salah satu kejahatan itu dirampas, juga kalau
benda-benda itu bukan kepunyaan terhukum.
Pasal 14.
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau
pemberitahuan bohong, dengan sengaja
menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum
dengan hukuman penjara
setinggitingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau
mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat
menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita
atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum
dengan penjara setinggi-tingginya tiga
tahun.
Pasal 15.
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau
kabar yang berkelebihan atau yang tidak
lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya
patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan
atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan
rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
setinggitingginya dua tahun.
Pasal 16.
Barang siapa terhadap bendera kebangsaan
Indonesia dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan
yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan
kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya satu tahun enam bulan.
Pasal 17.
Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa
dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan
ditetapkan oleh Presiden.
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum, maka
diperintahkan supaya diumumkan sebagai
biasa.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 26 Pebruari 1946.
pada tanggal 26 Pebruari 1946
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
SOEKARNO
Menteri Kehakiman Sekretaris Negara
SOEWANDI A.G PRINGGODIGDO
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG No.
1
TENTANG
PERATURAN HUKUM
PIDANA
PENJELASAN UMUM.
I. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar berhubung dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 No. 2, maka sekarang berlaku
semua peraturan hukum pidana, yang ada pada
tanggal 17 Agustus 1945, baik yang asalnya
dari pemerintah Hindia-Belanda, maupun yang
ditetapkan oleh Pemerintah balatentara
Jepang.
Hal ini sekarang ternyata menimbulkan kesukaran
yang dengan singkat akan diuraikan
dibawah ini :
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia-Belanda pada umumnya
berlaku buat seluruh Indonesia, sedangkan
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
Pemerintah balatentara Jepang hanya berlaku buat
sebagian dari Indonesia saja, oleh karena
Indonesia pada jaman Jepang dibagi menjadi
beberapa daerah (Jawa, Sumatera, Borneo dll),
yang masing-masing mempunyai Pemerintah dan
Peraturan-peraturan sendiri. Dari sebab itu
maka mungkin suatu Peraturan Hindia Belanda,
yang dulu berlaku buat seluruh Indonesia,
oleh Pemerintah Jepang di Jawa dan Madura
diganti seluruhnya dengan peraturan baru,
di Sumatera hanya sebagian diganti, dan di
Borneo sama sekali tidak diganti.
Mungkin pula buat tiap-tiap daerah tentang suatu
hal oleh Pemerintah daerah Jepang
diadakan suatu peraturan baru yang satu sama
lain tidak sama isinya.
Selain dari pada itu peraturan hukum-pidana
Hindia Belanda dan Jepang tidak sama
sisteem-nya. Sedangkan peraturan hukum pidana
Hindia-Belanda berdasarkan azas : Nullum
delictum, nullapuna sine praevia lege punali
(tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman
jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum
pidana) (lihatlah pasal 1 Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), maka
peraturan hukum pidana Jepang berazas luas
(lihatlah misalnya pasal 14 dan pasal 35 No. 8
Gunsei Keizirei).
Disini tidak akan dirundingkan sisteem manakah
sebagai sisteem terlebih baik, akan tetapi
sudah barang tentu, bahwa tidak baik menggunakan
dua sisteem itu dalam
peraturan-peraturan hukum pidana, yang
bersama-sama berlaku dalam sesuatu daerah.
Lagi pula peraturan tentang bagian umum
(algemeene leerstukken) dari hukum pidana
Hindia-Belanda dan Jepang tidak sama. Di dalam
praktek peraturan bagian umum dari
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
harus dipakai jikalau pelanggaran
mengenai peraturan Hindia-Belanda, sedang peraturan
bagian umum dari Gunsel Keizirei
harus dipergunakan, jikalau peraturan Jepang
yang dilanggar.
Dirasa tak perlu memberi keterangan panjang
lebar, bahwa menyempurnakan
peraturan-peraturan hukum Pidana HindiaBelanda
dan Jepang itu tidak memuaskan dan
menimbulkan kesulitan bagi mereka yang harus
menjalankan hukum pidana itu, lebih-lebih
pegawai polisi yang bukan ahli hukum.
Dari sebab itu tidak mengherankan, bahwa dari
beberapa tempat dan pihak diusulkan supaya
satu peraturan kriminil sajalah dipakai. Lebih
tegas diusulkan oleh mereka supaya
peraturan-peraturan hukum pidana Jepang
dihapuskan.
Memang tidak dapat disangkal, bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana Jepang, yang
berlaku ditanah kita, bersifat fascistisch, lagi
pula tidak merupakan peraturan yang bulat,
kerap kali tidak jelas dan mengandung banyak
bukti, bahwa peraturan-peraturan itu disusun
dengan tergesa-gesa pada masa yang tak tenang,
sedang Gunsei Keizirei kadang-kadang
memaksa hakim menjatuhkan hukuman yang tidak
seimbang dengan kesalahan pesakitan,
oleh karena beberapa pasal tak memberi
kesempatan kepada hakim memberi hukuman lebih
enteng dari pada batas terlukis dalam
pasal-pasal itu. Sebaliknya boleh dikatakan, bahwa
peraturan kriminil Hindia-Belanda walaupun tidak
sempurna, cukup lengkap dan pada
umumnya tidan mengandung cacat-cacat seperti
dimaksud diatas, sehingga
peraturan-peraturan ini, sebelum dapat
diselesaikan peraturan-peraturan hukum pidana
nasional, boleh dipakai buat sementara waktu,
sesudah peraturan-peraturan itu dirobah dan
ditambah seperlunya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas dirasa perlu melenyapkan
peraturan-peraturan kriminil Jepang, sehingga
buat sementara waktu berlaku lagi
peraturan-peraturan hukum pidana Hindia-Belanda
yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.
Perlu kiranya diterangkan disini, bahwa yang
akan tidak berlaku lagi itu, ialah
peraturan-peraturan hukum pidana sahaja, yaitu
Gunsei Keizirei dan peraturan-peraturan
Jepang lain yang memuat "matereel
stafrecht". Peraturan-peraturan Jepang yang bersifat lain
terus berlaku.
II. Oleh karena Negara Republik Indonesia
sekarang tidak dalam keadaan perang dengan
Negara manapun, dan keadaan bahaya tidak
dinyatakan oleh Presiden (lihatlah pasal 12
Undang-Undang Dasar), maka dianggap kurang tepat
mengadakan peraturan-peraturan
sebagai "Verordeningen van het Militair
Gezag" yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi
balatentara Hindia-Belanda.
Dari sebab di dalam praktek disangsikan, apakah
peraturan-peraturan itu masih berlaku atau
tidak, maka sebaiknya dinyatakan, bahwa
undang-undang itu dicabut. (lihat pasal 2 dari
rencana).
III. Tidak perlu diterangkan, bahwa semua
peraturan yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942,
mestinya satu demi satu sedapat-dapat harus
disesuaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini
sedapat-dapat dilaksanakan terhadap Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie). Tetapi
pekerjaan itu tidak mungkin sekaligus
diselenggarakan terhadap semua Peraturan.
Berhubung dengan itu, maka dengan pasal III,
IV dan V dari rencana diberi petunjuk walaupun
jauh dari pada sempurna kepada mereka
yang harus menjalankan peraturan hukum pidana
sehari-hari, jalan manakah yang harus
ditempuh untuk menyesuaikan peraturan-peraturan
lama dengan keadaan sekarang, sebelum
peraturan-peraturan itu dapat dirobah atau
diganti.
IV. Tentang bahasa, yang dipakai dalam
perobahan-perobahan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, baik kiranya diberi keterangan
sekedarnya. Karena kitab tersebut ditulis
dalam bahasa Belanda, maka agar supaya tidak
menimbulkan kekacauan dalam membacanya
perobahan-perobahan itu, yang hanya mengenai
satu atau dua perkataan atau sebagian dari
pasal atau ayat, ditulis pula dalam bahasa
Belanda.
V. Selain dari pada perobahan kecil-kecil ini,
dirasa perlu juga merobah pasal 171 Kitab
undang-undang hukum pidana seanteronya serta
mengadakan beberapa aturan-aturan baru
antara lain guna melindungi masyarakat kita pada
zaman pancaroba ini.
Oleh karena perobahan-perobahan dan
tambahan-tambahan yang dimaksud ini sangat
dipengaruhi keadaan sekarang dan kini belum
dapat ditetapkan dengan pasti, apakah
peraturan-peraturan itu seperti yang diusulkan
sekarang, akan tetap dibutuhkan, juga buat
kemudian hari, maka dianggap lebih tepat memberi
tempat kepada pasalpasal tersebut di luar
badan Kitab undang-undang hukum pidana.
Pasal-pasal ini ditulis dalam bahasa Indonesia
(lihat pasal IX, X, XI, XII, XIII dan XV).
VI. Hingga kini terjemahan nama : "Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie" dalam
bahasa Indonesia tidak sama. Nama-nama yang
dipakai ialah antara lain : Kitab
Undang-undang Hukum Siksa", "Kitab
Undang-undang Hukum", "Kitab Undang-undang
Hukum Pidana", dsb.
Untuk mencapai persamaan dalam terjemahan nama
tersebut, dipandang perlu menetapkan
terjemahan resmi dengan undang-undang (lihat
pasal 6).
Istilah "hukum pidana" dalam arti
"strafrecht" ialah istilah yang ditetapkan oleh Panitia
istilah dari Panitia penyelenggara undang-undang
di Departemen Kehakiman pada zaman
Jepang.
PENJELASAN SEPASAL DEMI SEPASAL.
Pasal I sampai VI.
Penjelasan telah diberikan dibagian penjelasan
umum. Petunjuk-petunjuk dalam pasal I
sampai V diatas dirasa perlu terhadap
peraturan-peraturan hukum pidana yang belum dapat dirobah
atau diganti sesuai dengan keadaan sekarang.
Pasal VII.
Tidak perlu diterangkan lagi.
Pasal VIII.
No. 1 Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan,
(lihatlah No. 13, 19 dan 21).
No. 2 dan 3a tidak membutuhkan penjelasan.
No. 3b, dan No. 4 berhubung dengan kedudukan
jaksa sekarang, maka pegawai inilah yang
harus diberi kekuasaan yang dimaksud dalam pasal
ini, sedangkan kewajiban
Gouverneur-Generaal dulu patut diserahkan kepada
Menteri Kehakiman.
No. 5, No. 6, No. 7, No. 8, tidak membutuhkan
penjelasan
No. 9 Negeri Belanda, Suriname dan Curacao tidak
masuk daerah Negara Indonesia.
No. 10 Namanya badan-badan politik yang dimaksud
dalam pasal ini belum dapat disebut.
Komite Nasional Indonesia antara lainnya juga
masuk dalam pasal ini.
No. 11, No. 12, No. 13 tidak membutuhkan
penjelasan.
No. 14 Pasal 105 dihapuskan, (lihatlah No. 13).
No. 15, No. 16 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 17 Pasal 105 dihapuskan (lihatlah No. 13).
No. 18 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 19 Pasal ini tidak sesuai dengan bentuk
Negara kita sebagai Republik.
No. 20 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 21 lihat penjelasan penjelasan 19.
No. 22 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 23 lihat penjelasan No. 19 dan perobahan
pasal 134 (No. 22).
No. 24 Pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan
(lihatlah No. 23)
No. 25, No. 26 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 27a, pasal 130 dihapuskan (lihatlah No. 19)
b, pasal-pasal 132 dan 133 dihapuskan (lihatlah
No. 21).
c. pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (lihatlah
No. 23).
No. 28 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 29 lihat penjelasan No. 10.
No. 30 Pasal-pasal ini dianggap tidak sesuai
dengan azas Negara kita sebagai negara yang
demicratis.
No. 31 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 32 lihat penjelasan No. 30.
No. 33 Pasal 105 dihapuskan.
No. 34 Pasal-pasal 105, 130, 132 dan 133
dihapuskan.
No. 35 dirobah dan jadi pasal XIV dan XV dari
rancangan ini.
No. 36 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 37 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang
yang sama dengan (Eur) Officier van
Justitie dulu.
No. 38 Pasal ini tidak sesuai dengan keadaan
sekarang.
No. 39 Tambahan dalam pasal 234 dianggap perlu
oleh karena sekarang banyak surat-surat
dikirimkan dengan perantaraan orang.
No. 40 tidak membutuhkan penjelasan.
No. 41 Sekarang belum terang kepada siapa
kekuasaan Gubernur Jenderal yang dimaksud
dalam pasal 239 Kitab Undang-undang hukum pidana
akan diberikan.
No. 42, No. 43 tidak perlu diberikan penjelasan.
No. 44 Suriname, Curacao dan Nederland telah
masuk perkataan-perkataan "buitenlandsche
mogendheid".
No. 45 Perkataan "Inlandsch" tidak ada
artinya lagi.
No. 46 Penghapusan ini adalah sesuai dengan
kedudukan Jaksa sekarang.
No. 47, No. 48, No. 49, No. 50, No. 51, No. 52,
No. 53, tidak membutuhkan penjelasan.
No. 55, No. 56, No. 57, No. 58, No. 59 Dirasa
tepat bahwa laporan yang dimaksud harus
disampaikan Kepala Polisi.
No. 60, No. 61, No. 62, No. 63 tidak perlu
dijelaskan.
No. 64 Pegawai yang dimaksud dalam pasal ini
harus ditunjuk antara lain dalam pasal-pasal
41 dan 333 dari Burgerlijk Wetboek.
No. 65 Kepala Polisi ditunjuk dalam pasal ini
berhubung dengan kedudukannya sekarang.
Pasal IX sampai XIII
Pasal-pasal ini dibutuhkan buat menindas usaha
untuk mengacaukan peradaran uang di
negeri kita dengan menyebarkan mata uang atau
uang kertas yang oleh pihak Pemerintah kita tidak
diakui sebagai alat pembayaran yang sah.
Mata uang atau uang kertas yang tidak disebut
dalam Maklumat Presiden Republik Indonesia
tertanggal 3 Oktober 1945 No. 1/10 sebagai alat
pembayaran yang sah, adalah buat daerah Jawa dan
Madura alat pembayaran yang tidak sah.
Pasal IX.
Mengancam hukuman terhadap barang siapa membikin
benda semacam mata uang atau
uang kertas dengan maksud seperti diterangkan
dalam pasal itu.
Pasal X dan pasal XI.
Disusun hampir sama dengan susunan pasal 245 dan
pasal 249 Kitab undang-undang hukum
pidana. Bedanya disebabkan oleh hal yang pasal X
dan XI mengenai mata uang atau uang kertas
yang tidak sah, sedangkan pasal 245 dan 249
Kitab undang-undang hukum pidana mengenai mata
uang atau uang kertas palsu atau yang
dipalsukan. Penjelasan dalam kitab-kitab tafsir tentang pasal
245 dan 249 Kitab undang-undang hukum pidana
dapat dipergunakan untuk menafsirkan pasal X
dan XI dari rancangan ini, dengan mengingat akan
bedanya.
Pasal XIII.
Merupakan pasangannya pasal 250 bis Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal XIV dan pasal XV.
Menggantikan pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, yang pada masa pancaroba
ini perlu diperluas.
Pasal XIV.
Ialah sama dengan "Verordening No. 18 van
het Militair Gezag".
Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan
dan menggoncangkan hati penduduk
yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat
juga keonaran.
Menyiarkan artinya sama dengan
"verspreiden" dalam pasal 171 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Pasal XV.
Disusun tidak begitu luas sebagai
"verordening No. 19 van het Militair Gezag".
Pasal ini mengenai "kabar angin"
(kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan
tambahan atau dikurangi.
Menyiarkan kabar benar secara yang benar tidak
dihukum.
Arti perkataan "keonaran" telah
dijelaskan dalam penjelasan pasal XIV.
Pasal terachir.
Oleh karena berhubung dengan sukarnya
perhubungan antara pulau Jawa dan daerah Negara
Indonesia yang lain, sekarang belum dapat
ditetapkan bilamana Undang-undang ini akan berlaku
buat daerah di luar pulau Jawa dan Madura, maka
sebaiknya diserahkan kepada Presiden untuk
menentukan saat itu.